Oleh : Ricky Udayara,SE.I
Ketua Asosiasi Pengusaha Getah Pinus Lokal Gayo Lues (APGPL)
“Uyem uyem kami Hana pulang Kam Sibuk”.Terjemahan dalam bahasa Indonesia “Pinus Pinus Kami Mengapa Kalian Sibuk”. Demikian kalimat yang kerap kali muncul di kalangan masyarakat di Kabupaten Gayo Lues. Sejak tahun 2019 sampai hari ini, komoditi Getah Pinus menjadi yang paling di idolakan oleh masyarakat Gayo Lues sebagai alternatif penopang perekonomian. Ada yang berprofesi sebagai Penderes langsung, ada masyarakat yang menguasai lahan kemudian memperoleh fee (bayaran sewa lahan dari pengusaha penderes getah atau penderes getah) yang jumlahnya bervariasi yaitu dengan setoran bulanan/setiap kali panen, dan ada juga yang dengan sistem kontrak Tahunan. Dan Ada juga masyarakat yang berprofesi sebagai pengepul Getah.
Masyarakat memperoleh pendapatan dari Kontrak Lahan
Adapun Untuk kontrak lahan, masyarakat di Gayo Lues ada yang berpedoman kepada hasil panen di hitung per Kg getah Pinus sebesar Rp.1.000- Rp. 1.500 per kg. Yang rata2 per Hektar Lahan Pinus dapat menghasilkan 100 – 300 kg/hektar. Sehingga jika di hitung Rp.1.000,- saja /kg maka penguasa lahan mendapatkan pasif income mencapai Rp.300.000,-/ha per sekali panen. Dan jika di kontrak tahunan ada yang meminta di awal kepada pengusaha. Total rata-rata potensi panen di kali 12 bulan. Dengan demikian estimasi pasif income masyarakat penguasa lahan di kabupaten Gayo Lues dapat mencapai Rp.3.600.000,-/ ha / Tahunnya.
Omset Penderes Mencapai Rp.12.000.000,- lebih per Bulan
Sementara untuk masyarakat yang hari ini menderes sendiri Di Lahan Pinus yang dikuasai sendiri dapat lebih besar. Karena masyarakat hari ini dapat menjual langsung kepada pengepul dan bahkan ke pabrik dengan harga Rp. 10.000,- Sampai Rp.12.000,- per kg. Rata rata hasil getah yang dapat dicapai oleh penderes Lokal (masyarakat Gayo Lues) berkisar 500 kg- 1.000 kg per sekali panen.adapun waktu panen yang dapat ditempuh jika dikerjakan secara disiplin adalah 25 hari-35 hari per sekali panen. Dapat kita simpulkan jika 1 org penderes Lokal bisa menghasilkan 1.000 kg/30 hari maka. Penderes tersebut dapat menjual kepada pengepul/ke pabrik di harga Rp.10.000,- Rp 12.000,- akan mendapatkan omset sampai Rp 12.000.000,- (Dua Belas Juta Rupiah) setiap Bulannya. Sehingga sangat Wajar hari ini Getah Pinus Menjadi sangat di Gandrungi di Kabupaten Gayo Lues.
Secara Geografis Pohon Pinus di Kabupaten Gayo Lues tersebar di lebih dari 40 Ribu Hektar baik di Areal Penggunaan Lain (APL) ,di kawasan Baik Itu di Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi Terbatas(HPT)dan Hutan Produksi (HP).
Sehingga tanaman Pinus dengan Varian Pinus Markusi merupakan tanaman endemik yang ada di kabupaten Gayo Lues. Sebarannya cukup merata hampir di seluruh kecamatan di Kabupaten ini.
Dasar Pola Kerja Sama bersandarkan Qanun 07/2016
Adanya tatausaha hutan yang mengatur tentang pengusahaan Getah Pinus merupakan suatu keniscayaan. Karena Getah Pinus merupakan salah satu instrumen Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dengan katagori Getah dan Resin sebagai turunan hasil pengolahannya (gondeureukem). Tatausaha Getah Pinus di Aceh di atur dengan UU pemerintahan Aceh Nomor 11 Tahun 2006 (UUPA) yang secara spesifik di atur dengan Qanun Aceh Nomor 07 Tahun 2016 tentang Hutan Aceh. Di dalam Qanun Aceh Nomor 07 itu telah mengatur bagaimana pemerintah Aceh Melalui Dinas Lingkungan Hidup Dan Kehutanan (DLHK) Aceh membuat mekanisme tatausaha Hutan dengan memberikan kewenangan kepada pengusaha untuk dapat berusaha. Dengan Pola Kerja Sama antara Pengusaha dan Pemerintah Aceh, yang kemudian di buat menjadi Mitra Usaha KSO antara DLHK Aceh/ Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dengan perusahaan/kelompok usaha sebagai mitranya.
Sejak Tahun 2015 DLHK Aceh telah membuat kemitraan Usaha melalui KSO terhadap lebih kurang 15 Mitra usaha yang tersebar di Wilayah KPH V dan KPH III yang ada di kabupaten Gayo Lues. Dengan Lama hak pengelolaan 5 tahun Sampai dengan 10 tahun.
Diantaranya Perusahaan dan DLHK Aceh / yang melalui KPH V Aceh memiliki Kerja Sama Oprasional (KSO) yang berpayung hukum kepada Qanun Aceh Nomor 07 Tahun 2016 Tentang Kehutanan Aceh. Di dalam naskah masing masing antara pengusaha dan DLHK Aceh tersebut memiliki Hak dan Kewajiban yang disepakati. Adapun hak dari mitra Usaha Adalah mendapatkan Areal Konsensi yang dapat di gunakan sebagai areal Penderesan getah Pinus dan mendapatkan perlindungan dan pembinaan dari DLHK atau KPH . Sementara Kewajiban dari perusahaan adalah membayar kewajiban Berupa Pendapatan Asli Daerah sebesar 1.800/kg yang di bagi kepada Provinsi Rp.900,- dan terhadap Kabupaten Sebesar Rp.900,- ditambah Propesi Sumber Daya Hutan (PSDH) sebesar Rp.42,-/kg kepada Negara yang di katagorikan Sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Nah, kembali kepada semakin ramai dan semaraknya masyarakat di Gayo Lues yang menyadari Kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) Berupa Pohon Pinus yang dapat di ambil Getahnya dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Membuat mekanisme dan susunan tatausaha hutan yang sebelumnya telah berjalan hari ini menjadi terlihat asing dan aneh bagi sebagian besar masyarakat yang tidak mendapatkan informasi serta pembinaan dari pemerintah yang berperan strategis untuk mentatausaha Hutan dalam pengelolaan usaha Penderesan Getah Pinus sebagai salah satu instrumen HHBK.
Kalimat Konotasi yang terungkap dari masyarakat Gayo Lues seperti “Uyem Uyem te Hana Pulang sibuk peratur atur” kerap sekali terdengar dan menjadi momok yang membenturkan antara pengusaha yang sejak lama telah diberikan kewenangan untuk mengelola, dengan masyarakat yang menguasai secara turun temurun lahan Pinus yang ada di Gayo Lues.
Pengusaha Rugi
Perjalanan Panjang pengusaha yang mendapatkan kewenangan Pengelolaan Penderesan Pohon Pinus untuk diperoleh Getahnya seharusnya dapat dipahami oleh stackholder yang ada. Selain hanya menderes dan mengambil getahnya, didalam ketentuan perjanjian KSO pengusaha di bebankan kewajiban, Seperti menyusun Rencana Kerja Umum (RKU) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT) dimana peran pemegang kerja sama diwajibkan membuat target Produksi dan terintegrasi dengan Mekanisme kerja yang telah ditentukan oleh DLHK Aceh, mulai dari Blok Blok Kerja, Standar Oprasional Penderesan (SOP) Seperi halnya SOP Nomor : 1/JASLING/UHHBK/HPL.2/1./2020 tentang “Sistem Evaluasi Penyadapan Getah Pinus pada pemegang ijin dan kerjasama Kesatuan Pengelolaan Hutan” yang mengatur tentang mekanisme teknis penyadapan Getah Pinus yang Baik, Seperti lebar koakan, kedalam koakan penggunaan stimulan yang ramah lingkungan dan mekanisme lainnya yang sesuai dengan prinsip pengelolaan hutan, yaitu hutan Lestari Masyarakat Sejahtera.
Dalam artian pengusaha berinvestasi cukup besar ketika diawal awal Penatausahaan Getah Pinus ini di semarakkan di Gayo Lues. Investasi membuka jalan/akses ke lokasi penderesan, pembuatan kamp pekerja sampai pemasangan alat alat kerja yang tidak sedikit jumlahnya waktu itu dilakukan oleh para pengusaha. Hingga. Hari ini masih sangat banyak pemilik ijin konsensi masih belum kembali modalnya. Sementara areal yang telah dirintis sebelumnya tidak dapat lagi dikerjakan. Akibat sudah semakin maraknya masyarakat setempat penguasa lahan yang mengambil alih Penderesan.
Bayak pengusaha yang di awal awal bekerja memberikan pinjaman lahan kepada penguasa lahan. Dengan jumlah yang bervariasi mulai dari 3 juta sampai 20 juta per pemilik. Namun ketika konflik seperti penderes kabur /melarikan diri dan ditambah lagi terjadi konflik bersaudara dalam pengakuan pemilik lahan yang sebenarnya membuat pengusaha pemegang konsensi harus mengelus dada. Karena sudah dipastikan uang investasi berupa alat kerja, pinjaman lahan dan biaya lain lainya itu sulit untuk di kembalikan. Ketika pengusaha protes tentang situasi itu maka akan muncul istilah. Ini lahan Pinus milik kami secara turun temurun dari Jaman nenek moyang kami, lalu mengapa kalian dari perusahaan mengatur dengan alasan sudah mendapat ijin pengelolaan dari pemerintah, sementara kami tidak pernah mengetahuinya”.
Perusahaan Mati Suri.
Dapat dipastikan hampir seluruh pemegang konsensi mengalami hal yang serupa. Dan seluruh konsensi yang ada di Gayo Lues hari ini mati suri. Tidak dapat beroperasi Seperti yang seharusnya telah tertuang di KSO kerja sama. Apaboleh dikata pemerintah hari ini tidak bisa berharap banyak terhadap konsensi, apalagi menargetkan capaian PAA maupun PAD, karena seyogyanya PAA dan PAD getah Pinus itu lahir, karena Qanun Aceh Nomor 07 Tahun 2016 mengatur tentang itu. Yang kemudian secara teknis dituangkan kedalam KSO antara DLHK Aceh dan Perusahaan Perusahaan Mitranya.
Dengan Mati Surinya para mitra usaha hari ini, seharusnya pemerintah Aceh mengevaluasi secara menyeluruh sistem yang sedang berjalan hari ini.
Lahirnya Intruksi Gubernur Aceh Nomor 03 Tahun 2020 yang melarang Getah Pinus Mentah Keluar Dari Aceh, kemudian menambah Pekerjaan Rumah DLHK Aceh untuk membuat mekanisme yang berjalan secara bersamaan dengan situasi di Lapangan.
Munculnya Ingub No 03/2020 membuat Dilema baru dalam Penatausahaan Getah Pinus di Aceh. Dampak Positifnya, kita harus akui, sejak lahirnya Ingub ini, Pemerintah Aceh telah berhasil merubah mainset investor untuk membuat Pabrik di Aceh. Baik itu Permodalan Dalam Negeri (PMDN) maupun Permodalan Asing (PMA). Di Gayo Lues sendiri telah hadir 3 (Tiga) Pabrik Pengolahan Getah Pinus yang telah berdiri, Yaitu PT.Kencana Hijau Bina Lestari, PT.Pinus Makmur Indonesia, dan PT.Rosin Trading Internasional (PMA).
Hadirnya ketiga pabrik di Kabupaten Gayo Lues ini tentunya akan mendapatkan dampak positif terutama mengurangi angka pengangguran, dan jaminan bahwa Potensi Besar Alam Gayo Lues yang memiliki Hutan
Pinus yang cukup luas mendapatkan atensi serius dari investor yang telah mendirikan pabrik pabriknya. Dan itu semua di olah di Gayo Lues.
Evaluasi !
Bentuk Hilirisasi dari kekayaan Alam Gayo Lues melalui Getah Pinus sangat jelas disini. Tinggal bagaimana pemerintah setempat dapat melihat potensinya, tidak hanya dimanfaatkan oleh perusahaan swasta. Namun pemerintah melalui kewenangan nya dapat memaksimalkan potensi ini menjadi pendapatan daerah yang lebih maksimall. Tentunya dengan memberikan pelayanan sebagaimana peraturan yang telah dibuat. Sehingga bukan saja pemerintahan di tingkat pusat tetapi pemerintahan Aceh yang mendapatkan 900 per kg dan kemudian pemerintah daerah di tingkat kabupaten yang juga memperoleh 900 per kg harus meningkatkan sistem pelayanan terpadu terhadap tata usaha penderesan getah pinus di Aceh khususnya di kabupaten Gayo Lues. Sejak lahirnya Ingub nomor 3 tahun 2020 membuat semua pihak baik TNI maupun polri konsen dalam mengawasi peredaran getah pinus keluar dari Aceh, walaupun di beberapa kejadian yang muncul masih saja ada masyarakat ataupun pengusaha nakal yang mencoba membawa getah mentah keluar dari Aceh. Secara hukum dagang tentunya ini tidak dapat dielakkan dikarenakan harga getah di luar Aceh cenderung lebih mahal daripada harga getah yang ada di industri di Aceh. Ditambah lagi pengusaha yang menjual getah ke industri yang ada di Aceh harus mengeluarkan kewajiban yang jumlahnya sebesar Rp.1.842 ,- per kg nya. Kewajiban yang demikian besar membuat para pengusaha resmi yang memiliki konsensi hari ini sangat sulit untuk dapat bersaing dengan pengusaha yang melakukan penderesan dan penampungan getah secara ilegal.
Hal ini disebabkan kemampuan membeli dan menjual getah oleh pelaku usaha ilegal lebih tinggi dibandingkan dengan pengusaha yang memiliki perusahaan resmi yang bekerjasama dengan Dinas Lingkungan Hidup Aceh. Beberapa kali baik Dinas Lingkungan Hidup Aceh dan bahkan Polda Aceh sendiri melalui DiReskrimum Aceh membahas dan merapatkan khusus tentang efektivitas penata usahaan hutan yaitu getah pinus yang sedang menjadi primadona di masyarakat kabupaten Gayo Lues, Aceh Tengah dan Bener meriah.
Agenda-agenda pembentukan tim terpadu sudah seringkali dilakukan baik di tingkat provinsi maupun di kabupaten. Sampai hari ini yang sangat diharapkan oleh semua pihak adalah komitmen bersama oleh para pemangku kepentingan baik masyarakat pengusaha pabrik pemerintah aparat penegak hukum adalah dengan bersama-sama mempertahankan ingub nomor 3 tahun 2020 dan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah.
Dengan semakin maraknya penderesan getah pinus di masyarakat Kabupaten Gayo Lues adalah suatu bentuk apresiasi positif dari kinerja kehutanan. Getah pinus yang hari ini memiliki manfaat ekonomi yang sangat tinggi membuat masyarakat menjadikannya sebagai sumber penghasilan yang sangat diminati. Sehingga terkadang luput dari perhatian yang mana secara tidak langsung telah membantu pemerintah dalam mengatasi resesi ekonomi dan inflasi.
Peran serta pemerintah, industri, aparat penegak hukum menjadi sangat penting. Sehingga tidak menimbulkan stigma negatif di masyarakat tentang dan mengapa pinus pinus yang dulunya sudah ada sejak nenek moyang kami kemudian harus diatur oleh pemerintah dan pengusaha.
Sinkronisasi saling menguntungkan antara masyarakat yang berada di lingkungan pinus, pengusaha, industri, dan pemerintah sendiri seharusnya dapat diwujudkan.
Kesadaran akan membangun negeri harus senantiasa diwujudkan dalam bentuk kebersamaan antara semua stakeholder agar dapat saling mendukung demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat di kabupaten Gayo Lues secara menyeluruh dan tidak hanya menguntungkan sekelompok orang saja. Dengan demikian konflik horizontal antara kepentingan masyarakat pemerintah dan pengusaha dapat di hilangkan.
Bersambung …ke Eps 2 –— SIPUHH, LHP, SKSHHBK Hana Bene e ini ?