Portal Datiga, Opini- “Salahnya masyarakat Gayo Lues terlalu percaya terhadap janji politik. Salahnya yang membuat janji, memanfaatkan kepercayaan itu. Akibatnya, sekarang kita saling memanfaatkan dan saling menyakiti.”
Kita sering mendengar, bahwa, masyarakat pun sudah tidak bisa dipercayai jika sudah masuk dalam lingkaran politik. Bahkan disebut lebih politis dari politisi itu sendiri.
Terkesan, kesalahan itu murni, dan merupakan sudah karakter masyarakat Gayo Lues. “Gak ada duit, jangan harap dapat suara,”.
Kita harus jujur. Masyarakat Gayo Lues tidak tidak demikian. Pada dasarnya mereka malu jika berbicara uang jika berkaitan dengan perjuangan. Alih-alih, hal diatas, bicara soal harta dan gaji saja agak sumbang. Baca sejarah perjuang orang-orang Gayo Lues disetiap peristiwa mulai dari Belanda sampai peristiwa GAM dan Pembentukan Kabupaten.
Perlu diingat, sebelum masyarakat Gayo Lues “ditipu” dengan janji-janji dan keramahtamahan, mereka tercatat pernah berjuang ikhlas, dan penuh suka rela ikut berjuang dalam pemilihan baik legislatif maupun eksekutif.
Banyak yang berbondong-bondong datang dari Kampung, mengenakan sarung membawa uang sebagai bentuk apresiasi kepada calon yang dianggapnya mampu Mewakili dan Memimpin.
Ada juga yang menjual perhiasan, kerbau dan lain sebagainya untuk mendukung kandidatnya. Bahkan, ada yang memberi bantuan seadanya, beras, bubuk kopi dan sayur-sayuran. Tapi apa yang mereka dapatkan setelah pemilihan selesai?
Orang Gayo Lues pantang mengungkit-ungkit pemberian, tapi masalahnya, yang diberi dan yang diperjuangkan terkadang minus akhlak dan tak tahu diri, alih-alih berterima kasih, bertutur sapapun hanya terjadi karena basa-basi.
Sudah menang malah lebih banyak gaya daripada jajan. Merasa diri seperti raja seumur hidup, padahal jabatan hanya hitungan tahun, namun malah tidak dimanfaatkan kewenangannya untuk menebar manfaat.
Kita tidak sedang membicarakan semua politisi, tapi sedang membicarakan oknum kandidat yang menang atau kalah. Karena pada dasarnya oknum ini sama saja, baik menang maupun kalah. Semua mengakhiri perjuangan dengan rasa sakit yang luar biasa dan telah menumbuhkan dendam yang berkepanjangan.
Coba kita renungkan kembali disetiap perjuangan. Hanya rakyat kecil yang benar-benar turun ke jalan, menyuarakan kandidatnya. Walaupun tak seberapa tapi mereka ikhlas dalam bergerak. Rela meninggalkan rumahnya, demi menjaga dan memenangkan pilihannya.
Sekali lagi apa yang didapatkan setelahnya? Hanya pukulan keras atas apatisme dari oknum tokoh-tokoh yang berkepentingan, setelah berjuang keberadaan mereka tergeser arus deras oleh kaum berjouis yang gila jabatan dan proyek Pemerintahan.
Bukan hanya itu, ketika menang kebijakan yang harusnya perpijak ke kepentingan umum tidak pernah benar-benar dirasakan manfaatnya, salah satu faktanya ekonomi masyarakat tetap dalam garis kemiskinan. Jadi manfaat apa mereka yang telah duduk?
Memang betul kata orang, betapa pentingnya adab dalam meraih kekuasaan, dan setelah mendapatkan kekuasaan.
Jika ingin uang bukan lagi segalanya dalam meraih kewenangan kekuasaan, cobalah bangun integritas, komitmen dan tanggung jawab dalam berpolitik, di mana ketika menang mampu melahirkan kebijakan yang bisa di rasakan manfaatnya seluruh elemen masyarakat.
Satu lagi, jika tidak ingin uang bukan segalanya, coba tumbuhkan diri sebagai tokoh yang membuat pergerakan dengan memunculkan konsep, ide dan gagasan yang mampu mengatasi setiap persoalan, berani?
Rebut hati masyarakat dengan ide dan gagasan itu, gelorakan gelombang perubahan yang terarah, jelaskan bagaimana seharusnya Gayo Lues ini berdiri menjadi Daerah yang diperhitungkan baik dari segi ekonomi, pendidikan dan agama, misalnya. Sanggup? Kalau tak sanggup lanjut ke bawah.
Maunya jangan hanya menyalahkan, orang-orang politik itu harus pintar dan berbakat mengembalikan keadaan seperti seharusnya, jika hanya menyalahkan tidak usah ikut-ikutan berpartisipasi jadi kandidat.
Jika tidak mampu menjadi pelopor pembaharuan, icon perubahan yang peka terhadap kondisi masyarakat, dan tidak cerdas dalam mengatasi setiap persoalan, lebih bagus ikut kami ke warung kopi lalu menyalahkan keadaan tanpa mampu berbuat apa-apa, alias saling melempar omong kosong yang sangat nyaring, tapi tetap kami nikmati meskipun membosankan.
Sekali lagi gak usah mengutuk keadaan, gak usah salahkan masyarakat, gak usah bicara moral, salahkan diri saja, dan perbaiki moral sendiri. Tidak ada yang bisa mengubah keadaan, jika bukan politisi itu sendiri yang mengubahnya.
Jika ingin menang tanpa mengeluarkan uang, tanpa mampu memberikan konsep dan ide apapun, cobalah pelihara kambing sebanyak-banyaknya, lalu jadilah wakil kambing atau jadilah pemimpin kambing itu.
Saya yakin para kambing tidak akan menolak orang bodoh yang tidak mau mengeluarkan uang untuk menjadi Wakilnya atau Pemimpinnya.
Memang uang bukanlah penentu dalam kemenangan politik, tapi tetap uang salah satu variabel yang tidak bisa dipisahkan dalam kesuksesan berpolitik. Selalu demikian, bahkan dari zaman dulu begitu.
Hanya saja peruntukan uang itu berbeda-beda. Cobalah untuk sadar diri, meyakini bahwa politik itu tempat pengabdian untuk kemaslahatan umat, adapun uang yang dikeluarkan merupakan bagian dari pengorbanan yang harus diikhlaskan, bukan malah berpikir bagaimana cara mengembalikannya setelah menang.
Jadi intie, ike sen ge mera kederet, konsep giara, peraturan Pemerintah ge ngerti, kenak i osah rakyat jabatan, ge pilih jema ungeren masyarakat ni sen we betih e , bangun bos, tidur mu terlalu miring, antena mu terlalu rendah. Ge sah umping.
Abdi Whienargayo