Biografi, Portal Datiga – Mayak Teri, sosok pejuang wanita Gayo yang gagah berani dan pantang menyerah dalam menghadapi ketidakadilan dan kedzaliman yang dipertontonkan oleh kaum penjajah Belanda.
Ia berjuang tanpa kenal rasa takut dan tidak pernah mengeluh terhadap segala penderitaan yang dialaminya selama ia bergerilya di dalam hutan Serbejadi Lokop demi tegaknya marwah Islam dan martabat bangsa Gayo.
Inen Mayak Teri dilahirkan di kampung Sembuang, Serbejadi ”Gayo” Lokop dengan nama asli Tripah dari sebuah keluarga yang sederhana.
Ia adalah sosok simbol pejuang wanita Gayo yang berjuang menentang hegemoni Belanda yang ingin menguasai tanah Aceh secara keseluruhan . Ia mewakili sosok wanita-wanita Gayo yang memiliki jiwa patriotisme dan keberanian tanpa batas dengan berjuang dibawah kilatan pedang dan desingan peluru marsose Belanda demi sebuah masa depan yang lebih baik bagi generasi muda Gayo ke depan.
Pada penghujung perang Belanda di Aceh, tahun 1890an Aceh bagian utara dan timur semakin bergojolak. Belanda semakin menambah kekuatannya, dalam usaha mengejar srikandi Cut Meutia di Aceh bagian utara dan T. Tapa di Aceh bagian timur tepatnya Idie dan Peurlak.
Teuku Tapa pernah merebut Idie dari tangan Belanda. Pada siang hari keadaan aman-aman saja, tetapi pada malam hari serangan tidak pernah berhenti. Keadaan tentara Belanda sama dengan seekor monyet yang diikat di tiang. Kekuasaannya hanya sepanjang tali pengikat sekitar tiang ikatan.
Akhirnya Belanda berkesimpulan bahwa T.Tapa harus di kejar ke pedalaman ke daerah Keujurun abuk dan sekitarnya (Gayo Lues). Operasi militer harus digencarkan dari arah Idie dan dari arah Tamiang.
Daerah kekuasaan T.Tapa harus dipersempit dan rakyat di sekitar kejurun abok harus dikelabui agar memihak Belanda atau diintimidasi.
Keadaan jadi terbalik. Kalau dahulu yang menyerang pasukan Teuku Tapa dan Belanda bertahan, sekarang pasukan Belanda menyerang dan Teuku Tapa yang bertahan atau berpindah-pindah tempat. Dalam keadaan seperti ini taktik Belanda agak berhasil.
Banyak daerah penduduknya memihak Belanda, memusuhi pasukan Teuku Tapa sebaliknya banyak pejuang yang meninggalkan kampungnya bergabung dengan pasukan T. Tapa bergerylia dari satu daerah kedaerah lain.
Sekian banyak pemuda yang bergabung salah satunya bernama Hasan. Hasan baru saja menikah dengan seorang gadis yang bernama Tripah dari daerah Gayo, biasanya dipanggil Tri. Sesuai dangan adat gayo nama Tri dan Hasan seolah-olah hilang karena setelah menikah mereka dipanggil aman mayak dan inen mayak untuk membedakan dengan orang lain maka disebutlah inen mayak tri keduanya berasal dari daerah Pining.
Mobilisasi terjadi tahun 1898 di seluruh kampong keujurun abok. Pemuda yang mendaftar pada umumnya bersenang hati dapat berperang dengan kafir dan kalaupun mati, mati syahid namanya. Aman mayak bergabung dengan pasukan Pining dengan T. Tapa dan dikirim untuk mengikuti latihan perang alakadarnya ke Lukup. Dari Lukup barulah dilatih perang di sekitar Peurlak dan Idie.
Wajib militer, tidak ditentukan batas waktunya, bagi yang sudah berkeluarga diberi cuti untuk mengunjungi keluarganya setiap enam bulan bila memungkinkan. Aturan ini diberitahukan kepada famili di Kampung sebelum berangkat.
Demikianlah, setelah enambulan berlalu, aman mayak belum juga pulang. Tidak ada kabar sama sekali meskipun sudah hampir mencapai 12 bulan. Inen mayak Tri mulai was-was memikirkan keadaan suaminya. Rekan dari suami tidak ada jua yang pulang membawa kabar baik.
Bertanya pada mertua dan orang tua tak layak rasanya, malu. Maklumlah, pengantin baru. Yang ada hanya menunggu dan terus menunggu.
Lama waktu berselang akhirnya ada diantara rekan aman mayak pulang membawa kabar bahwa aman mayak telah gugur di Medan perang. Tepatnya di Idie dan telah di kubur secara layak.
Hati Inen mayak tri hancur. Berhari-hari terpuruk dalam kesedihan tanpa makan dan tanpa minum. Keringlah airmatanya. Perkiraan masyarakat sekitar Inen mayak tri telah kehilangan akal sehat, melihat tingkahlakunya sudah agak aneh. Ia telah kehilangan orang yang paling dicintainya.
Setelah tujuh hari suaminya meninggal, inen mayak tri mulai memutar akal bagaimana caranya dia bisa membalaskan dendam atas kematian suaminya. Inen mayak Tri mulai memberanikan diri meminta ijin pada orang tua, mertua dan petua kampong untuk berlatih perang di Pining saja sebab dia yakin Belanda akan datang ke Pining.
Inen Mayak tri tidak berkecil hati, dia sungguh-sungguh berlatih menggunakan berbagai senjata yang dianggap dapat membantu waktu perang dengan satu tekad.
Pada penghujung tahun 1898, Inen Mayak Tri bergembira bukan kepalang mengetahui Belanda akan datang ke daerah Pining. Belanda datang di bawah pimpinan kapten Colinj, mengejar T. Tapa. Pasukan Pining di bawah pimpinan Datok Pining Tua, dibantu oleh inen Mayak Tri, menyambut Pasukan Belanda di Tingkem daerah perbatasan.
Begitulah Belanda datang, pasukan pining menyambut mereka dengan penuh semangat juang. Dari sore hingga tengah malam dua pasukan terus beradu nyali dan bersabung nyawa. Inen Mayak Tri seorang wanita cantik yang berang dan marah, mengamuk sejadi-jadinya mengingat sosok suami tercinta. Berhasillah inen mayak tri melukai dan menundukkan Belanda, sungguh pun malam itu juga Belanda sudah bertolak dan berbalik arah. Mundur.
Pasukan Inen Mayak Tri kembali ke Pining dengan hati senang satu langkah ia telah lebih maju. Setidaknya berani berbuat itu lebih penting. Inen Mayak Tri mendapat kepercayaan dari para penduduk yang mengira sebelumnya Inen Mayak Tri telah Gila.
Enam tahun berlalu. Belanda belum mengakui kekalahannya. Belanda datang lagi ke daerah Pining tepatnya 12 februari 1904, di bawah pimpinan kapten C. Lechleiner dari Kuala Simpang. Lagi-lagi pasukan Inen Mayak Tri menyambut Belanda di Perbatasan. Pertempuran sengit terjadi kedua kalinya di Tingkem (perbatasan dengan Aceh Timur).
Wanita cantik, Inen Mayak Tri langsung menghadang sang Kapten. Ayunan pedangnya ternyata dapat melukai Kapten Belanda hingga kedua tangannya hampir putus. Malam itu juga pasukan Belanda kedua kalinya kembali dengan kekalahan. Mereka kembali ke Kuala Simpang.
Dalam pertempuran kedua ini, ada yang tidak biasa. Wanita pejuang yang penuh semangat, Inen Mayak Tri terluka parah pula saat itu. Rupanya, melawan Kapten perang Belanda bukanlah hal mudah baginya. Segera Inen Mayak Tri dilarikan ke hutan, hal ini tidak boleh diketahui oleh Belanda. Beberapa tahun kemudian Inen Mayak Tri meninggal dengan keadaan wajar.
Sumber :
- inirismawati.blogspot.com
- Lintas Gayo.com
- Sejarah Gayo
- Salim Wahab
- Cerita rakyat
- Diskusi dengan masyarakat