Portal Datiga – Opini, Diluar sana, negeri ini, terkenal akan religius. Masyarakatnya dianggap paham dan taat beragama, Ditakdirkan hidup dalam wilayah Serambi Mekkah, berjuluk seribu bukit dan seribu hafidz, bahkan memiliki salah satu mesjid tertua di Indonesia, setiap lini kehidupannya tidak pernah lepas dari Agama.
Tapi anehnya, setiap Pemilu dan Pileg yang diperdebatkan selalu tentang kejujuran. Kata rakyatnya, sulit mencari pemimpin yang jujur, kata calon pemimpinnya sulit mencari timses dan pemilih yang jujur.
Apa yang salah? Ditambang emas, sulit mencari emas. Atau memang, masyarakat Gayo Lues yang religius ini hilang religiusnya ketika berhadapan dengan demokrasi? (Lupen e Tuhen e ike nge masuk politik)
Dalam catatan kecil Ibnu Hasyim Bupati dua Periode “Mendulang suara pemilih bagaikan menangkap ikan dengan cara neldik”,. Kabupaten Gayo Lues telah melewati Pemilihan Legislatif sebanyak 5 kali dan Pilkada 3 kali (akan 4 kali tahun 2024), artinya masyarakat sudah 8 kali sudah memberikan suara kepada calon legislatif dan eksekutif.
Kata Ibnu Hasyim, dalam kurun waktu tersebut setidaknya calon legislatif yang pernah ikut ada 1000 orang dan ditambah Calon Bupati dan Wakil Bupati sebanyak 9 orang.
Dari 1000+ 9 kandidat tersebut katakan 200 orang calon saja yang mengajak/merayu/mempengaruhi setiap 1 orang Pemilih dalam setiap periode, dan masyarakat dipastikan sudah sangat berpengalaman mengahadapi setiap kandidat tersebut, sementara para kandidat banyak yang tidak memiliki pengalaman ketika berhadapan dengan pemilih.
Ujung-ujungnya para calon banyak mengalami terpana-pana (melihat hasil suara) “GERE PATUT SEGENTUT BEBUKEN PASA”, padahal masyarakat, begitu berdiri, dibenaknya sudah ada calon yang akan dipilihnya, dilain pihak para kandidat belum memahami tipe dan watak para pemilih.
Akhirnya, “SEKESEK TIO, TIO TIO TAPI. IKE MUGESEK ENTI MULEMBATAH. IKE MENOSAH, SUDE TERANG NATE,”. Siapa yang mau disalahkan, satunya (pemilih) istilahnya gak enakan ketika diajak kandidat yang bukan pilihannya, yang satu lagi (kandidat) kepede-an terlalu percaya ketika melihat anggukkan kepala calon pemilihnya.
Begitu juga dengan catatan kecil Abdul Karim kemaladerna “ADAKAH KEJUJURAN DALAM POLITIK,”. Singkatnya Ia menuliskan, saat ini kejujuran adalah barang yang amat langka, terutama dalam politik. Padahal dalam politik kejujuran mutlak diperlukan. Kenyataan yang ada, jarang terdengar politisi yang jujur sehingga seakan akan jujur itu barang haram dalam politik. Bila terjun kepolitik maka bersiap siaplah untuk menjadi orang yang tidak jujur, begitulah kesan yang terbentuk saat ini.
Muara dari politik adalah kekuasaan, kewenangan dan jabatan .Artinya melalui politik jabatan akan mudah diperoleh. Jabatan dan kewenangan mirip dengan narkoba. Bila sudah masuk kedalamnya maka sulit untuk keluar.
Jabatan membuat orang kecanduan karena banyak fasilitas yg termuat didalamnya ,ada fasilitas keuangan, protokoler dan kalau di Gayo Lues ada penghormatan dari masyarakat.
Dari pengalaman pribadi khususnya di Gayo Lues,orang akan dihormati bila dia memiliki jabatan, sekecil apapun jabatan itu. Oleh sebab itu orang berlomba untuk menjadi perangkat Desa, perangkat Pemilu, Pilkada dan lain lain. Disamping ada penghasilan juga ada penghormatan.
Banyak orang kaya yang memiliki harta tapi akan berbeda perlakuan orang terhadapnya dibandingkan dengan perlakuan kepada Pejabat.
Kembali kepada kejujuran yang dibahas didepan bagaimana dengan kejujuran dalam politik. Sangat, sangat sulit untuk menerapkan kejujuran, karena menurut pandangan sebagian besar orang, bahwa politik adalah ketidak jujuran itu sendiri. Ada yg mengatakan bagaimana mau jujur, masyarakat itu sendiri yang mengajarkan tidak jujur. Masyarakat mengatakan kami berbuat begitu karena politisinya sendiri yg mengajarkan kepada kami, membohongi kami dengan janji janji yang tidak akan dipenuhi.
Berbohong adalah komoditi ampuh dalam politik. Anehnya politisi suka berbohong dengan segala janjinya dan masyarakat juga merasa senang dengan kebohongan para politisi. Dalam bahasa Gayo disebut muraul tidak ada ujung pangkalnya.
Produk yang tidak baik tentu diawali dari bahan baku yang tidak baik dan dilanjutkan dengan proses yg tidak baik pula dan hasilnya hampir dipastikan tidak baik.
(Abdi Whienargayo)